Cerpen-Malam Malam Nina
Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin
mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan
masai lalu duduk termenung.
Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena
Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia
tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung
menyukainya.
Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu
bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat
dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal
sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk
menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil
di depan rumah.
Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik
dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor
kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel,
periang dan pandai berdandan.
Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia
juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang
mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild
juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.
Tetapi aku
bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya
bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku
terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan.
Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja,
menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun
yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka
bukan perempuan baik-baik.
Nina datang dua bulan yang lalu dan
menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh
tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak
secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang
selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya
yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia
membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna.
Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.
Oh
ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di
rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun
ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah
menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.
Bukan
masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu
terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau
menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang
menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.
"Nina,
ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa
mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah.
Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang.
Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.
Ia menoleh
dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak
mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di
matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.
"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.
Lagi-lagi
hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca
pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana
mengejewantah.
Nina memang tidak pernah bercerita tentang
dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau
tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah
menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada
orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga
seperti itu?
Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya
mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku
dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan
lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?
Lalu
aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu
domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi
berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak
mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak
sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai
berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu
tentang apa saja yang aku ingin tahu.
Anita dan Tina sering
melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka
pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga
sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui
kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan
tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.
Aku
menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi
ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang
di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas
meja di depan Nina.
"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata
Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun.
Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu.
Lalu membukanya.
"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.
Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku
mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan
seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan
panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.
Kuteruskan
membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?"
kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu
itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.
Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.
Kuhela
napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina.
Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.
"Tetapi ia
mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi
menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar
terbakar.
"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati
istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh
karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti
sanubariku. Perih itu masih terasa.
"Ya. Dia beristri. Tapi
istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami
punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.
Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.
Kepulan
asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun
yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari
mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke
kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai
primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki
kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh
pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan
uang mereka yang berlebihan.
"Istrinya jahat bagaimana? Namanya
istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan
perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk
"mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku
terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api.
Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.
Laki-laki
memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki
memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas
ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai
dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan
segepok uang di belahan dadaku.
"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."
Ya!
Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi
tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan
sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang
perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu
yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan
menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu
dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak
meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di
dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk
meninggalkannya.
Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika
istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan
dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit
kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku
benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak
menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran
seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.
"Aku
tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar
kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik,"
lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan
baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan
baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang
sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap
kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.
"Nina,
sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan
laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi
kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu
klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah
kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.
"Tetapi, Mbak, Bayu
mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun
yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.
Tetapi
ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa
ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan
baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi
bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia
sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.
Kurasakan
getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri
Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku
mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan
mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa
menampar-nampar.
"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?
"Kalau
kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan
membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar
kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun
dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.
Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."
"Nah,
kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan
disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan
nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau
sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan
mempunyai anak di luar nikah?"
Oh…ia mempunyai tata bahasa yang
sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai
istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan
"mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah",
ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku?
Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa
dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.
Ia
tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo
yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak
melawan.
"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia?
Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia
benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit
sedikit pun.
Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.
"Kalau
kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu
pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik
sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari
laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan
kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai
untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.
Lalu tidak banyak yang
bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia
melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya
dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter
dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam
di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke
bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh
hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima
kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!
Sampai
pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama
sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau
menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk
memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan
sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa
mengembun.
Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini.
Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca
kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan
mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.
Aku
melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja.
Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku
tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan
uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini,
membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…
"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia
tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan
membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari
kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu
juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.
Nina
tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya.
Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui
hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia
menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada
perasaanku!"
"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini
embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras
menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut
tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan
itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung
yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun
gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"
Aku
tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci
itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi.
Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya
yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu
ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak
ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia.
Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?
Akhirnya,
aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi.
Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan.
Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat
saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah
dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada
memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci
dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.
Malam demi malam,
kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela
menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang
anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji
kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang
sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.
Sejak malam itu,
malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam
seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya
kepada Bayu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar